Minggu, 07 Juni 2009

Resep Panganan Khas Surabaya


LONTONG MIE


Bahan-bahan
250 gram Ebi kering, rendam kemudian goreng hingga kering
250 gram Mie hokkien, rebus
250 gram Tauge, buang akarnya, cuci bersih
1 ikat Daun kucai, iris halus
20 gram Bawang goreng
5 potong Lontong, potong sebesar 1 hingga 2 cm

Bumbu
100 gram Jeruk limau
100 gram Cabe rawit merah, memarkan dan iris halus
2 sdt Petis kupang atau petis udang

Cara penyajian
1. Potong lontong, ditata diatas piring/ mangkuk
2. Porsikan mie hokien diatasnya
3. Tambahkan campuran cabe rawit, petis, air jeruk limau,
4. Taburkan irisan daun kucai, bawang goreng, dan ebi yang sudah digoreng

Untuk 5 porsi



NASI BEBEK

Bahan
1 ekor bebek, potong menjadi 4 bagian
750 ml air
minyak goreng

Bumbu yang dihaluskan
5 bh bawang merah
3 siung bawang putih
1 sdt ketumbar
1 sdt garam
3 cm kunyit
3 jahe

Pelengkap
nasi putih, mentimun, daun selada, kemangi, dan sambal cabai rawit.

Cara membuat
1. Campur bebek, air, dan bumbu halus, masak hingga bebek empuk. Jika bebek belum empuk, bisa ditambah dengan air panas.
2. Panaskan minyak goreng secukupnya, masukkan bebek. Goreng hingga kering kecokelatan.
3. Sajikan bebek goreng dengan nasi, lalap, dan sambal.
4. Buat sambal: haluskan 10 bh cabai rawit hijau dan 1/2 sdt garam, lalu beri minyak bekas menggoreng bebek secukupnya.

Untuk 4 orang



RUJAK CINGUR

Bahan
50 gram kangkung, dicuci bersih
50 gram taoge
75 gram kecipie (belah daun memanjang)
100 gram bangkuang
75 gram mentimun
50 gram mangga muda
75 gram tempe goreng
100 gram tahu goreng
250 gram cingur (tulang rawan hidung sapi)/kulit/kikil sapi, direbus
Sambal petis, untuk sambal petisnya bisa dibeli yang jadian dipasar tradisional

Cara membuat
1. Rebus kangkung, taoge, dan kecipir sampai matang, angkat.
2. Potong mentimun, bangkuang, mangga muda, tempe goreng, tahu goreng dan cingur yang sudah direbus matang, sisihkan.
3. Campur semua bahan di piring cekung lalu disiram dengan sambal petis. Aduk sampai rata. Siap dihidangkan.


LAPIS SURABAYA

Bahan
10 btr kuning telur
100 gr gula pasir
125 gr mentega, kocok
50 gr tepung terigu

Cara membuat
1. Kocok telur dan gula hingga kental, matikan mixer.
2. Masukkan mentega kocok, aduk rata. Masukkan tepung terigu. Aduk rata.
3. Tuang kedalam loyang tipis 22×22x4cm. Oven 20 menit, suhu 180”C.
4. Buat 3 lapis adonan, untuk adonan coklat, tambahkan 1 sdm coklat pasta Black Forest, aduk rata.


WEDANG ANGSLE

Bahan
100 gr sagu mutiara, matang
100 gr kacang hijau, rebus matang
200 gr tapai singkong, dipotong dadu
200 gr nata de coco
2 iris roti tawar, dipotong dadu kecil
200 gr nasi ketan putih
150 gr kacang tanah, goreng


Kuah
200 gr jahe, kupas dan memarkan
1.5 liter santan
2 lembar daun pandan (wewangian)
200 gr gula pasir
0.5 sendok garam

Cara membuat
1. Buat kuah jahe : rebus santan bersama jahe, gula pasir, daun pandan dan garam.
Selama merebus aduk-aduk agar santan tidak pecah. Setelah mendidih, diangkat.
2. Siapkan mangkuk, isi dengan sagu mutiara, kacang hijau, tape singkong, roti tawar, ketan, nata de coco dan kuah santan.
3. Sajikan hangat, taburi dengan kacang tanah.

Untuk : 6 orang.

Children Learn What They Live With

Dorothy Low Nolte


Jika anak banyak dicela,

Ia akan terbiasa menyalahkan.

Jika anak banyak dimusuhi,

Ia akan terbiasa menentang.

Jika anak dihantui ketakutan,

Ia akan terbiasa merasa cemas.

Jika anak banyak dikasihani,

Ia akan terbiasa meratapi nasibnya

Jika anak dikelilingi olok-olok,

Ia akan terbiasa menjadi pemalu.

Jika anak dikitari rasa iri,

Ia akan terbiasa merasa bersalah.

Jika anak serba dimengerti,

Ia akan terbiasa menjadi penyabar.

Jika anak banyak diberi dorongan,

Ia akan terbiasa percaya diri.

Jika anak banyak dipuji,

Ia akan terbiasa menghargai.

Jika anak diterima oleh lingkungannya,

Ia akan terbiasa menyayangi.

Jika anak tidak banyak dipersalahkan,

Ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri.

Jika anak mendapatkan pengakuan dari kiri – kanan,

Ia akan terbiasa menetapkan arah langkahnya.

Jika anak diperlakukan dengan jujur,

Ia akan terbiasa melihat kebenaran.

Jika anak ditimang tanpa berat sebelah,

Ia akan terbiasa melihat keadilan.

Jika anak mengenyam rasa aman,

Ia akan terbiasa mengandalkan diri & mempercayai orang sekitarnya.

Jika anak dikerumuni keramahan,

Ia akan terbiasa berpendirian…

“Sungguh indah dunia ini”.

Minggu, 31 Mei 2009

PERAN ORANGTUA DALAM PEMBINAAN GENERASI MUDA

Astrid Wiratna, S.Psi



Latar belakang


Jika kita mendengar “generasi muda” maka pikiran kita pada umumnya akan membawa kita pada kelompok anak-anak muda usia remaja ke atas. Namun dalam pemikiran saya waktu mempersiapkan makalah ini, sebutan generasi muda saya terapkan pada kelompok manusia dari usia bayi sampai dewasa, karena pemahamannya saya padankan dengan pemahaman generasi penerus.


Oleh karena itu jika kemudian kita berbicara tentang peran orang tua dalam pembinaan generasi muda maka menurut saya peran itu sudah harus dijalankan sejak janin masih di dalam kandungan. Saya teringat pada almarhumah nenek saya yang pada saat saya memasuki usia remaja mengatakan pada saya bahwa pada suatu saat saya akan jadi ibu dan menurut nenek saya menjadi ibu adalah sebuah pilihan, oleh karena itu pada saat saya menetapkan bahwa saya ingin menjadi ibu, saya harus bersungguh-sungguh menyiapkan calon anak saya agar tumbuh menjadi anak berkualitas sejak saya berhubungan dengan suami. Kata nenek saya anak adalah titipan Tuhan, oleh karena itu kehadirannya harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sejak masa konsepsi. Dari dasar pemikiran itulah kemudian nenek saya memberikan banyak sekali nasihat agar saya sebagai calon ibu menjaga kesucian jiwa raga saya agar kelak jika saya memutuskan untuk menjadi ibu, anak-anak saya akan menjadi calon generasi penerus yang bermanfaat bagi masyarakatnya (berkualitas, istilah sekarang).


Entah karena pengaruh almarhum nenek saya, entah karena pengalaman saya membawa saya pada pemikiran ini: bahwa pembinaan generasi muda membutuhkan sebuah proses yang panjang, dimulai dari bagaimana sepasang suami istri memperlakukan anak mereka sejak di dalam kandungan. Sangatlah terlambat jika kita mulai mengkhawatirkan pertumbuhan dan perkembangan generasi muda kita pada saat mereka sudah remaja. Karena semua anak bertumbuh dari bayi, masuk masa anak-anak, baru menjadi remaja, dan semua pengalaman pengasuhan, pelatihan, pendidikan dan pengamatan mereka akan membentuk karakter mereka sebagai generasi muda.


Tidak ada anak yang minta dilahirkan. Kehadiran seorang anak selalu diawali dengan keinginan sepasang orangtua untuk memiliki keturunan. Semua orangtua bisa memilih kapan mereka akan memiliki anak, bahkan dengan teknologi sekarang, orangtua bisa memilih ingin mempunyai anak dengan jenis kelamin tertentu, kembar atau tunggal juga tanggal berapa anak ingin dihadirkan ke dunia. Sebaliknya, anak tidak bisa memilih ingin lahir dari orangtua yang seperti apa, baik atau buruk, kaya atau miskin, mengharapkan mereka atau tidak, siap menerima mereka atau tidak. Anak harus menerima takdir dilahirkan dalam keluarga seperti apa.


Kita semua sudah memahami bahwa semua anak adalah titipan Tuhan, maka kewajiban orangtualah untuk memberikan perawatan dan pengasuhan yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun, di sekitar kita masih banyak orangtua yang menganggap anak mereka sebagai hak milik, dan oleh karenanya mereka memperlakukan anak-anak mereka seenaknya sendiri. Banyak orangtua yang kurang menyadari bahwa perlakuan mereka terhadap anak akan memberikan bekas dalam karakter anak yang mungkin saja akan membuat anak tumbuh menjadi generasi penerus yang kurang bermanfaat bahkan menjadi beban bagi masyarakatnya.



Aspek-aspek pembinaan generasi muda


Pada dasarnya pembinaan generasi muda adalah usaha untuk membangun karakter yang baik: membangun manusia muda dengan integritas tinggi (lurus kata dan perbuatannya), bertanggung jawab (berani mengambil keputusan dan berani menanggung risikonya), jujur pada dirinya sendiri, mempunyai visi ke depan, mencintai orangtua, bangsa, negara dan tanah airnya. Manusia muda yang punya keinginan untuk maju, bisa bekerja keras sekaligus memahami keterbatasannya. Manusia muda yang mempercayai Tuhan dan memakai agama sebagai kompas kehidupannya.


Oleh karena itu pembinaan generasi muda adalah pembinaan total dari seluruh aspek kehidupan seorang anak:

  • Fisik/biologis: memenuhi kebutuhan anak akan makanan yang bergizi, sekaligus membimbing anak bahwa makan itu bukan hanya urusan suka atau kenyang saja, membimbing anak untuk menjaga kesehatan tubuh dan memilih makanan sehat yang beguna untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Membimbing anak untuk bisa menerima tubuhnya sebagai bagian dari identitas dan anugerah ilahi.

  • Intelektual: mengembangkan potensi intelektual anak seoptimal mungkin. Setiap anak mempunyai kapasitas intelektual tertentu sesuai dengan keturunannya, namun pemanfaatan kapasitas itu sangat tergantung bagaimana harga diri anak ditumbuhkan untuk bisa beradaptasi sebatas kemampuannya.

  • Sosial: salah satu aset abadi yang dimiliki manusia adalah kemampuannya untuk membangun jaringan pergaulan. Anak perlu belajar bahwa untuk memiliki banyak teman dia perlu menampilkan dirinya sebagai anak yang menyenangkan, sopan dan dapat diandalkan. Perilaku sosial bukan faktor keturunan, perilaku sosial dipelajari dari lingkungan terdekat, orangtua punya peranan besar dalam memunculkan perilaku sosial yang beretika pada anak.

  • Emosional: aspek perkembangan yang seringkali terabaikan adalah aspek emosional. Sejak sekitar 20 tahun lalu, konsep kecerdasan emosional telah dibicarakan dalam dunia ilmu perilaku dan semakin lama semakin terbukti bahwa aspek perkembangan ini memiliki posisi yang penting bagi perkembangan semua potensi manusia.

  • Moral spiritual: aspek perkembangan ini juga seringkali tidak disadari memiliki posisi yang penting dalam membantu penyesuaian diri seorang manusia di dalam kehidupannya. Perkembangan moral spiritual yang baik dapat melindungi seorang anak dari tekanan-tekanan hidup yang mungkin merusak proses perkembangannya menuju generasi penerus yang berkualitas.

  • Minat dan bakat: Semua anak membutuhkan rasa percaya diri untuk dapat memberikan kontribusi dan partisipasi aktifnya di dalam masyarakat. Banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa semakin dini mereka menemukan minat dan bakat anak, semakin besar peluang anak untuk dapat mengembangkan harga dirinya. Anak yang memiliki harga diri tinggi, percaya pada dirinya sendiri, percaya pada kemampuannya dan oleh karenanya lebih mudah mengembangkan diri menjadi pribadi berkualitas.


Untuk mengembangkan karakternya, semua anak membutuhkan bantuan orang lain sebagai model. Setiap anak manusia mempunyai temperamen dasar yang dibawa dari lahir, untuk mempermudah saja ada 2 kelompok besar temperamen yaitu temperamen yang panas (dinamis) dan temperamen yang dingin (tenang).


Temperamen dasar ini akan berkembang ke arah mana tergantung pada rangsangan-rangsangan dini dari lingkungan yang diterima anak sejak masa balita. Pola asuh, pelatihan dan pendidikan yang diterima anak dari lingkungan terdekatnya akan membentuk kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang menjadi dasar dari karakter. Pada dasarnya karakter seseorang adalah kumpulan-kumpulan kebiasaan yang telah dilakukannya sepanjang usia.


Perkembangan karakter dimulai dari rumah. Keharmonisan hubungan suami istri dan suasana keluarga yang terbangun adalah prasyarat utama untuk pembinaan karakter yang berkualitas. Sementara sebagaimana disampaikan di atas, masa paling penting untuk membangun karakter seseorang adalah 5 tahun pertama dari usianya. Selanjutnya, dalam masa-masa berikutnya, karakter masih bisa berubah, namun membutuhkan proses yang panjang dan yang paling penting adalah perubahan karakter hanya bisa terjadi bila orang yang bersangkutan bersedia untuk berubah.



Peran orangtua dalam pembinaan generasi muda


Dari uraian singkat di atas dapat dilihat bahwa orangtua memegang peranan sentral yang sangat penting di dalam pembinaan generasi muda. Mengikuti perkembangan anak, peran orangtua berubah-ubah:


Pada masa bayi anak membutuhkan perlindungan untuk dapat mengembangkan seluruh potensi dan aspek-aspek perkembangannya, anak perlu belajar untuk mengenal diri, mengenal lingkungan dan mengenal batas-batas perilaku dirinya di dalam lingkungan. Oleh karena itu waktu anak masih bayi (s/d 2 tahun) orangtua berperan sebagai pelindung dan pembangun struktur dasar perilaku anaknya (mengajarkan disiplin dasar untuk manajemen diri sendiri: waktu makan, waktu tidur, waktu bermain dan apa yang dapat diharapkan dari orang lain di luar dirinya).


Pada masa anak (2-15 tahun) anak membutuhkan bimbingan untuk mulai memanfaatkan potensi dan anugerahnya di lingkungan sebatas harapan lingkungan, maka disini peran orangtua adalah pendidik dan pembimbingnya. Anak perlu belajar ilmu-ilmu dasar (membaca, menulis dan berhitung), etika-etika dasar dalam berperilaku di lingkungan, mengembangkan minat dan bakatnya serta mengembangkan jaringan-jaringan sosialnya yang pertama.


Pada masa remaja sampai dewasa muda (15-25) anak diharapkan sudah dapat berpartisipasi di dalam lingkungannya, menjadi manusia produktif dalam batas kemampuannya, oleh karena itu peran orangtua di sini bergeser menjadi teman. Orangtua adalah teman anak berdiskusi, meminta pertimbangan dan menetapkan tujuan-tujuan hidupnya.



Orangtua sepanjang masa


Orangtua yang tidak mampu menyesuaikan peranannya selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan anak akan “tertinggal.” Jika pengasuhan dan pelatihan anak baik, mungkin anak tidak akan menunjukkan sikap negatif terhadap orangtuanya, namun orangtuanya tidak akan memiliki peran penting di dalam kehidupan anak, anak akan memilih orang lain sebagai model perilakunya. Orangtua yang mampu beradaptasi dengan perkembangan dan pertumbuhan anak akan menjadi orangtua sepanjang masa bagi anak-anaknya. Mereka akan menjadi rujukan dan model anak seumur hidup.


Untuk menjadi orangtua sepanjang masa setiap orangtua perlu secara dinamik mengembangkan perannya, menjadi orangtua gaul (orangtua yang dapat menyesuaikan diri dengan jaman), orangtua yang bisa diandalkan karena intergritasnya yang positif, orangtua yang bisa menjadi model karena anak melihat orangtua sebagai orang yang pantas menjadi panutannya, orangtua yang mampu menempatkan diri pada posisi anak/anak-anaknya dan tidak memaksakan kehendaknya sebagai satu-satunya pilihan. Orangtua yang mampu memposisikan anak sebagai individu bebas yang selalu berkembang, orangtua yang sadar bahwa pada saatnya nanti keberhasilan dia sebagai orangtua justru ditentukan dari kemampuannya melepaskan anak untuk berkarya di luar perlindungannya, di masyarakat bebas. Orangtua yang berorientasi pada kebutuhan anaknya, seluruh sumberdaya yang dimiliki orangtua didedikasikan untuk anak/anak-anaknya, orangtua melakukan segalanya untuk anak, bukan untuk kepentingannya sendiri, misalnya: untuk adu gengsi.



Penutup


Dari pengalaman saya berhubungan dengan orangtua yang memiliki masalah dengan anak-anaknya, saya melihat bahwa banyak sekali orangtua yang tidak memahami bagaimana seharusnya menjadi orangtua. Banyak orangtua yang hanya mengandalkan pengalamannya sebagai anak di masa lalu, mengikuti saja bagaimana orangtua mereka memperlakukan mereka sebagai anak. Tentu saja pendekatan semacam itu tidak bisa diterapkan di era globalisasi ini. Di masa lalu, sumber belajar anak di lingkungan relatif sederhana, tetapi di masa sekarang sejak masih dalam kandungan anak telah banyak terpapar oleh sumber-sumber belajar yang tanpa disadari orangtua dan calon orangtua masuk di dalam kehidupan anak karena kemajuan teknologi komunikasi, sebut saja televisi, misalnya. Sejak anak di dalam kandungan informasi-informasi dari berbagai acara yang dipirsa orangtuanya telah masuk menembus kesadaran anak.

Idealnya, untuk masa kini, ada proses pendidikan untuk menyiapkan calon orangtua bagaimana menjadi orangtua yang baik bagi anak/anak-anaknya kelak. Namun sampai saat ini belum ada sekolah untuk menjadi orangtua. Mengutip pendapat almarhumah nenek saya di atas: menjadi orangtua adalah pilihan. Maka, jika kita siap untuk menjadi orangtua, kita sendiri yang perlu menyiapkan diri kita, karena kitalah yang bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan kita sendiri. Untungnya sekarang ini tidak sulit untuk belajar menjadi orangtua yang baik, sumber belajarnya banyak beredar di masyarakat, banyak buku-buku yang ditulis untuk para orangtua, majalah, tabloid, koran bahkan talkshow di radio/televisi. Kita semua sebagai calon orangtua bisa memilih untuk belajar apa dengan cara bagaimana. Tidak semuanya baik, tidak semuanya cocok dengan nilai kultur budaya/agama kita, kitalah yang menentukan mau menjadi orangtua semacam apa bagi calon generasi penerus kita.


Saya percaya, pada akhirnya, orangtua yang baik adalah orangtua yang bisa berhubungan dengan hati nuraninya sendiri, karena orangtua yang mencintai anaknya adalah orangtua yang paling mengenali mereka. Orangtua yang mengenal anak mereka dengan baik akan mempunyai intuisi yang tajam untuk memainkan peran yang paling dibutuhkan oleh anaknya. Oleh karena itu, menurut saya kembali ke teori klasik: hanya waktu dan perhatian penuh orangtualah yang bisa menjamin pertumbuhan dan perkembangan generasi penerus yang berkualitas. (AW, Surabaya, 13 Juli 2008).